Movie Review, My Review

Ayat-Ayat Cinta 2: Lelaki Sempurna bernama Fahri itu Tertolong Perempuan-Perempuan Tangguh

Directed by: Guntur Soeharjanto | Produced by: Manoj Punjabi, Dhamoo Punjabi | Screenplay by: Alim Sudio, Ifan Ismail | Starring: Fedi Nuril, Tatjana Saphira, Dewi Sandra, Chelsea Islan, Nur Fazura, Pandji Pragiwaksono, Arie K. Untung | Music by: Tya Subiakto | Edited by: Cesa David Luckmansyah | Production Company: MD Pictures

2.2/10

Oke. Jadi saya melanggar janji saya sendiri untuk hanya nonton film Indonesia berkelas festival dan memutuskan pasrah ketika teman saya mengajak saya nonton film ini. Saya sejujurnya bukan penggemar film-film drama cinta, yang kebanyakan menye-menye dan curahan hati sana sini. Film drama cinta selalu gagal membuat saya tersentuh, bahkan ketika seluruh penonton di bioskop menangis, saya biasanya tetap tak bergeming. Ketika saya menonton film ini, saya tak berharap lebih, terlebih setelah ada tiga film Indonesia yang mencuri hati saya tahun ini: Ziarah, Marlina: Si Pembunuh dalam Empat Babak dan tentu saja, Night Bus.

Film ini adalah sekuel dari film berjudul sama yang rilis di tahun 2008. Saya tak pernah menontonnya, bahkan ketika film prekuelnya tersebut sudah beberapa kali wara-wiri layar kaca. Saya malas menontonnya. Selain karena saya gak suka drama cinta, saya juga malas menonton film yang bawa-bawa muatan agama dan bernada patriarki. Film ini punya ketiganya, dan sekuelnya justru semakin berusaha menegaskan stigma tersebut.

Tokoh utama film masih sama, Fahri Abdullah (Fedi Nuril, reprises his own role), cendikiawan Indonesia yang di film prekuelnya sempat kuliah di Cairo dan di sekuelnya kini mengajar di Edinburgh. Fahri kini juga adalah pengusaha sukses, punya banyak bisnis di Edinburgh dan glorifikasi terhadap sosok Fahri tak sampai disana. Fahri konon sudah menikah dengan Aisha (di prekuelnya diperankan Rianti Cartwright), tetapi Aisha hilang dalam misi jurnalistiknya ke Gaza. Fahri yang masih terus menanti kepulangan Aisha terus berusaha berbuat baik pada semua orang dengan harapan kebaikan tersebut akan kembali pada Aisha.

Selagi Aisha tak ada, sekali lagi glorifikasi patriarkis atas tokoh Fahri semakin menjadi-jadi. Fahri disukai oleh banyak perempuan, antara lain sepupu Aisha yang bernama Hulya (Tatjana Saphira), pengacara HAM dari Malaysia Brenda (Nur Fazura) sampai ke pembantu rumah tangganya sendiri Sabina (Dewi Sandra). Fahri juga gemar menebar kebaikan, membantu tetangganya Catarina (Dewi Irawan) yang Yahudi, atau tetap tulus menolong gadis muda Irlandia yang vandal, Keira Walsh (Chelsea Islan). Pada satu titik, Fahri harus memutuskan apakah akan terus menanti Aisha atau membuka ruang bagi cinta baru dalam hidupnya.

Glorifikasi patriarkis terhadap Fahri sebenarnya bukan hal baru di film. Film action bahkan hampir selalu melakukan glorifikasi terhadap tokoh utamanya untuk menunjukkan dominasi, tetapi Ayat-Ayat Cinta membuat tokoh Fahri menjadi terlalu sempurna. Saya hampir menyangka kalau penulis novelnya bahkan ragu untuk menciptakan satu sifat buruk saja dalam diri Fahri. Saya tak meragukan bahwa yang dilakukan Fahri adalah hal yang harusnya dilakukan oleh setiap Muslim. Namun, bahkan Bill Gates dan Mark Zuckerberg pun punya batasan atas bisnis mereka, batasan yang tak dimiliki Fahri.

Nada patriarki semakin jelas dengan kembali hadirnya banyak perempuan yang naksir Fahri. Hal ini khas sekali terjadi pada tokoh utama lelaki yang jadi sentral dari novel yang ditulis oleh penulis lelaki. Banyaknya perempuan yang naksir seolah jadi legitimasi bahwa si tokoh utama lelaki adalah Alpha Male. Padahal, perempuan-perempuan yang naksir Fahri juga bukan sembarangan. Tatjana Saphira berhasil menciptakan si pantang menyerah Hulya yang mendominasi hampir keseluruhan aura positif film. Nur Fazura menciptakan Brenda yang independen dan berani. Terutama, Dewi Sandra yang sukses menciptakan tokoh Sabina yang misterius. Dengan karakter Fahri yang diciptakan Fedi Nuril, sulit rasanya membayangkan para perempuan cantik dan tangguh ini jatuh hati padanya yang daripada terlihat maskulin, lebih terlihat seperti socially awkward.

Pilihan casts juga eksekusi yang paling buruk dalam film ini. Setting di Edinburgh yang beragam jadi rusak akibat casting Dewi Irawan sebagai nenek Yahudi dan Bront Palarae sebagai anaknya yang mantan anggota tentara Israel, Chelsea Islan sebagai gadis Irlandia dan yang paling buruk, Pandji Pragiwaksono sebagai orang Turki bernama Hulusi. Casting manajernya seperti tak pernah browsing seperti apa rupa orang-orang Yahudi, Irish dan Turkish sehingga kelihatan seperti memaksa dan pasrah pada keadaan.

Satu lagi yang paling buruk adalah penggunaan bahasa dalam skenario yang seperti fruit punch, campur aduk. Padahal ada subtitle, tetapi tokoh-tokohnya masih bicara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia pada satu kali kesempatan bicara. Maksud saya, dengan adanya subtitle, tokoh-tokoh baiknya bicara satu bahasa yang konsisten. Belum lagi penggunaan subhanallah dan masya allah yang kebolak-balik disana sini.

Dengan segala keberatan saya terhadap film ini, soundtrack film ini membuat saya bertahan menontonnya sampai habis. Deretan suara Rossa, Krisdayanti, Isyana Sarasvati membuat suasana hati saya yang buruk jadi membaik.

Leave a comment